Feridin 45

Jangan lupa membaca artikel tentang bisnis di > Informasi bisnis terbaik 2020.



Fungi adalah mikroorganisme tidak berklorofil, berbentuk hifa atau sel tunggal, eukariotik, dan berdinding sel dari kitin atau selulosa. Fungi memperoleh makanannya dengan cara absorpsi. Sebagian besar tubuh fungi terdiri atas benang-benang yang disebut hifa, yang saling berhubungan menjalin semacam jala yang disebut miselium. Miselium dapat dibedakan atas miselium vegetatif yang berfungsi menyerap nutrien dari lingkungan dan miselium fertil yang berfungsi dalam reproduksi (Gandjar dkk. 2000).
Fungi dapat ditemukan pada aneka substrat. Fungi tidaklah sulit untuk ditemukan di alam, karena bagian vegetatifnya yang umumnya berupa miselium berwarna putih mudah terlihat pada substrat yang membusuk (kayu lapuk, buah-buahan yang terlalu masak, makanan yang membusuk). Selain itu, konidianya atau tubuh buahnya dapat mempunyai aneka warna pada daun, batang, kertas, dan tekstil. Tubuh buah fungi lebih mencolok karena langsung dapat dilihat dengan mata kasar, sedangkan miselium vegetatif yang menyerap makanan hanya dapat dilihat dengan mikroskop (Gandjar dkk. 2000). 
Fungi dapat bereproduksi secara seksual dan aseksual. Fungi bereproduksi secara aseksual melalui salah satu dari tiga cara, yaitu dengan cara tumbuh dan menyebar dari filamen hifa, memproduksi spora aseksual seperti konidia, atau melakukan pembelahan sederhana seperti pertunasan (budding) pada khamir. Sementara itu, reproduksi secara seksual menghasilkan spora seksual. Spora seksual berkembang dari peleburan antara salah satu dari dua gamet uniseluler atau hifa yang terspesialisasi (gametangia). Kemungkinan yang lain, spora seksual berasal dari peleburan antara dua sel haploid untuk menghasilkan satu sel diploid, kemudian menjalani meiosis dan mitosis untuk menghasilkan individu spora yang haploid (Madigan dkk. 2011).
Secara morfologi, fungi dibagi menjadi tiga tipe utama, yaitu tipe kapang, khamir, dan cendawan (mushroom).  Fungi dalam bentuk uniseluler disebut khamir, merupakan fungi berbentuk oval atau bola dan ukurannya lebih besar dari bakteri. Kapang adalah tipe fungi yang terlihat seperti serabut-serabut benang yang disebut miselia. Miselia terdiri dari filamen-filamen (hifa) panjang yang bercabang dan saling menjalin (Tortora dkk., 2010). Sementara itu, beberapa fungi membentuk struktur makroskopik yang disebut tubuh buah (cendawan). Tubuh buah dapat memproduksi spora dan dari tempat tersebut pula spora dapat disebarkan (Madigan dkk. 2011).
Khamir, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, merupakan fungi bersel tunggal. Sel khamir berbentuk oval, bola, atau silinder. Secara khas, khamir melakukan pembelahan sel dengan cara bertunas (budding). Selama proses pertunasan, sebuah sel baru merupakan sebuah perkembangan kecil dari sel yang tua (induk), kemudian mengalami pembesaran dan memisahkan diri dari sel induknya. Apabila tunas-tunas yang baru tetap bersama-sama akan terlihat seperti filamen yang disebut pseudohypha.  Sel khamir dapat dengan mudah dibedakan dari sel bakteri, karena sel khamir memiliki ukuran yang lebih besar dari sel bakteri dan sel khamir mempunyai nukleus dan vakuola sitoplasmik yang terlihat dengan jelas.  Khamir mempunyai spora seksual yang disebut askospora (Madigan dkk. 2011).
Pengamatan morfologi khamir dapat dilakukan secara makroskopik maupun mikroskopik. Pengamatan makroskopik yang perlu diperhatikan antara lain warna koloni, tekstur koloni, keadaan permukaan koloni, dan permukaan tepi koloni. Pengamatan mikroskopik yang perlu diperhatikan antara lain bentuk sel, ada tidaknya pertunasan (budding), banyaknya tunas pada tiap sel, askospora, dan ada tidaknya miselium semu (pseudomycelium) (Gandjar dkk. 1992).
Kapang merupakan tipe fungi yang berbentuk filamen. Filamen-filamen pada kapang disebut hifa. Hifa dibedakan menjadi dua jenis, yaitu hifa septat dan hifa coenocytic. Hifa septat mempunyai dinding yang disebut septa (singular: septum).  Septum membagi hifa ke dalam unit-unit seperti sel yang uninukleat (satu nukleus). Sementara itu, hifa coenocytic tidak memiliki septa dan nukleusnya membaur satu sama lain. Sel-sel pada hifa coenocytic terlihat memanjang dengan banyak nukleus (tidak ada pembagian sitoplasma yang jelas).  Kapang dapat menghasilkan spora seksual dan aseksual. Spora seksual contohnya zigospora, askospora, dan basidiospora, sedangkan spora aseksual contohnya sporangiospora dan konidiospora (Tortora dkk. 2010).
Pengamatan morfologi kapang dapat dilakukan secara makroskopik maupun mikroskopik. Hal- hal yang perlu diperhatikan pada pengamatan makroskopis adalah tekstur permukaan koloni (berbutir-butir/granular, beludru/velvety, kapas/wooly, floccose), warna koloni, warna sebalik koloni (reverse colony), ada tidaknya zona pertumbuhan, ada tidaknya garis atau lingkaran konsentris (zonation), ada tidaknya garis-garis radial dari pusat koloni ke arah tepi koloni (radial furrow), ada tidaknya bau yang khas, dan ada tidaknya exudate drops. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengamatan mikroskopik ialah struktur pendukung sel generatif (sporangiofor atau konidiofor), struktur penghasil sel generatif (sporangium atau fialid), bentuk dan ukuran sel generatif (spora/konidia), dan keadaan miselium (bercabang atau tidak, berseptum atau tidak) (Gandjar dkk. 1992; Gandjar dkk. 2000).
Secara taksonomi, fungi dibagi ke dalam lima filum, yaitu Chytridiomycetes, Zygomycetes, Glomeromycetes, Ascomycetes, dan Basidiomycetes. Chytridiomycetes memiliki spora seksual yang disebut zoospora. Zoospora berbeda dengan umumnya spora yang dihasilkan oleh jenis fungi yang lain, karena bersifat motil dan memiliki flagela. Status Chytridiomycetes sebagai kelompok fungi masih terus dipelajari karena beberapa anggotanya sangat berkerabat jauh dari kelompok fungi (Madigan dkk. 2011).  
Zygomycetes dan Glomeromycetes merupakan kelompok kapang coenocytic (multinukleat) dan spora seksualnya disebut zigospora. Zygomycetes umum ditemukan pada tanah atau pada material tumbuhan yang telah membusuk, sedangkan Glomeromycetes membentuk simbiosis dengan akar tumbuhan. Semua kelompok Glomeromycetes membentuk endomikoriza atau mikoriza arbuskular (Madigan dkk. 2011). Zygomycetes memiliki spora seksual yang disebut zigospora dan spora aseksual yang disebut sporangiospora (Tortora dkk. 2010).

Ascomycetes adalah kelompok fungi yang terdiri dari kapang dengan hifa berseptat dan beberapa khamir.  Spesies-spesies yang termasuk Ascomycetes memiliki spora seksual yang disebut askospora. Beberapa anggota Ascomycetes dapat membentuk spora aseksual yang disebut konidiospora (Tortora dkk. 2010; Madigan dkk. 2011).
Basidiomycetes adalah kelompok fungi yang paling maju berdasarkan garis evolusinya. Basidiomycetes dapat membentuk tubuh buah atau mushroom.  Basidiomycetes memiliki hifa yang berseptat.  Spora seksualnya disebut basidiospora yang dibentuk secara eksternal pada suatu tumpuan dasar (base pedestal) yang disebut basidium (Tortora dkk. 2010: 335).
Fungi dapat juga dikelompokkan menjadi fungi tingkat rendah (lower fungi) dan fungi tingkat tinggi (higher fungi). Fungi tingkat rendah merupakan fungi yang tidak memiliki septa pada hifa dan hifa tidak mengalami anastomosis, contohnya pada Zygomycetes dan Chytridiomycetes. Fungi tingkat tinggi memiliki septum-septum yang membagi lagi hifa ke dalam kompartemen-kompartemen dan hifa dapat mengalami anastomosis (hifa dapat mengalami penyatuan dengan hifa tetangganya), contohnya pada Ascomycetes, Basidiomycetes, dan mitosporic fungi. Selain itu, senyawa yang meregulasi proses seksual disebut 'hormon' pada fungi tingkat rendah dan disebut 'feromon' pada fungi tingkat tinggi (Carlile dkk. 2001). 


Sumber https://www.generasibiologi.com/

Selain sebagai media informasi pendidikan, kami juga berbagi artikel terkait bisnis.

Artikel bisnis dan investasi
Jangan lupa membaca artikel tentang bisnis di > Informasi bisnis terbaik 2020.


Bakteri merupakan salah satu bagian dari mikroorganisme.  Bakteri memiliki ukuran yang relatif kecil dan merupakan organisme uniselular (sel tunggal). Bakteri juga termasuk kelompok organisme prokariotik, karena materi genetiknya tidak diselubungi oleh membran inti.  Bakteri memiliki berbagai macam bentuk, umumnya terbagi menjadi tiga, yaitu bentuk basil (seperti batang), bentuk kokus (seperti bola atau oval), dan bentuk spiral.  Ada juga bakteri yang memiliki bentuk bintang dan kotak. Individu-individu bakteri dapat hidup dengan membentuk pasangan, rantai, kluster, dan bentuk lainnya.  Bentuk-bentuk tersebut dapat menjadi dasar karakter suatu marga pada bakteri. Ukuran bakteri sangat bervariasi, mulai dari diameter 0,2 mikrometer sampai 700 mikrometer (Madigan dkk. 2011).

Dinding Sel Bakteri

Sel bakteri memiliki struktur dinding sel. Namun, struktur dinding sel pada bakteri berbeda dengan tumbuhan.  Penyusun utama dinding sel pada bakteri adalah peptidoglikan, sedangkan penyusun utama dinding sel pada tumbuhan adalah selulosa (Tortora dkk. 2010). Peptidoglikan merupakan sebuah polisakarida yang terdiri dari dua macam gula turunan, yaitu N-acetylglucosamine (NAG) dan N-acetylmuramic acid (NAM).  Selain itu, peptidoglikan juga disusun oleh beberapa asam amino, seperti D-alanine, L-alanine, D-glutamic acid, lysine atau struktur mirip analog asam amino yang disebut DAP. Semua komponen tersebut dikoneksikan sehingga membentuk struktur berulang yang disebut glycan tetrapeptide (Madigan dkk. 2011). 
Secara umum, dinding sel mempunyai fungsi untuk memberi kekuatan secara struktural pada sel dan memberi perlindungan dari lisisnya sel. Dinding sel bakteri mempunyai lapisan yang kaku dan keras yang bertanggung jawab untuk memberi kekuatan pada sel. Bahkan, bakteri gram negatif mempuyai lapisan tambahan di luar lapisan yang kaku tadi.  Lapisan yang kaku itulah yang disebut peptidoglikan. Sementara itu, sel bakteri menghadapi tekanan osmotik yang tinggi, sekitar dua atmosfer pada kebayakan sel bakteri.  Sel memanfaatkan dinding sel untuk menahan tekanan tersebut dan mencegah sel dari pelisisan (Madigan dkk. 2011).
Bakteri gram positif dan bakteri gram negatif dibedakan berdasarkan struktur dinding selnya. Bakteri gram positif memiliki beberapa lapisan peptidoglikan sehingga lapisan peptidoglikannya tebal. Umumnya, 90% penyusun dinding sel bakteri gram positif merupakan peptidoglikan. Dinding sel bakteri gram positif mengandung teichoic acid. Ada dua tipe teichoic acid, yaitu lipoteichoic acid, yang menjangkau lapisan peptidoglikan dan terhubung ke membran plasma, dan wall teichoic acid, yang terhubung dengan lapisan peptidoglikan (Tortora dkk. 2010).  
Berbeda halnya dengan bakteri gram positif, bakteri gram negatif  memiliki lapisan peptidoglikan yang lebih tipis.  Namun, dinding sel bakteri gram negatif mempunyai membran luar.  Membran luar terdiri dari lipopolisakarida (LPS), lipoprotein, dan fosfolipid.  Peptidoglikan terikat dengan lipoprotein di membran luar dan periplasma, yaitu struktur seperti gel yang berada di antara membran luar dan plasma membran.  Selain itu, Dinding sel bakteri gram negatif tidak mengandung teichoic acid (Tortora dkk. 2010).

Endospora Bakteri

Beberapa kelompok bakteri, seperti kelompok Clostridium dan Bacillus, dapat membentuk struktur spora yang disebut endospora. Endospora dibentuk ketika nutrisi esensial berkurang atau habis. Endospora merupakan sel yang terdehidrasi dan memiliki daya tahan yang sangat tinggi. Endospora memiliki daya tahan yang sangat tinggi karena memiliki lapisan dinding yang tebal dan memiliki penambahan lapisan.  Ketika dilepaskan ke lingkungan, Endospora dapat bertahan pada kondisi panas yang ekstrem, kekurangan air, dan paparan zat kima toksik serta radiasi.  Endospora dibentuk secara internal atau di dalam sel. Hal tersebut yang menyebabkan spora pada bakteri disebut endospora (Tortora dkk. 2010).
Proses terbentuknya endospora di dalam sel vegetatif disebut sporulasi atau sporogenesis. Ada enam tahapan untuk membentuk endospora. Tahap pertama, spora septum memulai untuk mengisolasi DNA hasil replikasi dan sebagian kecil sitoplasma. Tahap kedua, membran plasma memulai untuk mengelilingi DNA, sitoplasma, dan membran yang diisolasi pada tahap pertama.  Tahap ketiga, spora septum mengelilingi bagian yang terisolasi tadi yang disebut forespore, spora telah memiliki membran ganda.  Tahap keempat, lapisan peptidoglikan dibentuk diantara membran.  Tahap kelima, dibentuk lapisan mantel spora yang tersusun dari protein.  Lapisan spora tersebut yang nantinya akan memberi kekuatan pada endospora di lingkungan yang berbahaya.  Tahap terakhir, sel awal didegradasi dan spora dilepaskan (Tortora dkk. 2010).
Struktur endospora pada bakteri lebih kompleks dibandingkan sel vegetatifnya. Endospora memiliki beberapa lapisan yang tidak dimiliki oleh sel vegetatifnya. Lapisan paling luar disebut exosporium, merupakan lapisan protein yang tipis. Di dalamnya, terdapat mantel spora yang terdiri dari protein spora yang spesifik.  Di bawah lapisan mantel spora terdapat korteks, merupakan lapisan yang terdiri dari peptidoglikan yang terhubung bersilangan secara bebas. Di bawah lapisan korteks terdapat bagian inti, yang terdiri dari dinding inti, membran sitoplasma, nukleoid, ribosom dan organel sel lainnya (Madigan dkk. 2011).  
Ada suatu substansi yang tidak ada di sel vegetatif dan khas terdapat pada endospora. Substansi tersebut adalah asam dipikolinik yang banyak diakumulasi pada bagian inti. Selain itu, endospora memiliki banyak ion kalsium dan membentuk kompleks dengan asam dipikolinik. Kompleks kalsium-asam dipikolinik dapat mengikat air bebas di dalam endospora dan membantu untuk mendehidrasi sel endospora.  Selain itu, kompleks kalsium-asam dipikolinik disisipkan pada basa nitrogen DNA untuk menjaga stabilitas DNA ketika menghadapi cekaman panas. Endospora juga memiliki SASP (Small Acid Soluble Protein) yang mempunyai dua fungsi pada endospora. Fungsi pertama adalah menjaga DNA dari kerusakan akibat radiasi sinar UV, desikasi, dan panas. Fungsi kedua adalah sebagai sumber energi pada saat melakukan proses germinasi untuk menghasilkan sel vegetatif yang baru (Madigan dkk. 2011). 
Ketika masih di dalam sel vegetatifnya, endospora memiliki letak yang berbeda-beda tergantung spesiesnya.  Setidaknya ada tiga posisi endospora ketika masih di dalam sel vegetatifnya, yaitu terminal, subterminal, dan sentral.  Letak terminal berarti spora dibentuk pada salah satu ujung dari sel vegetatif, letak subterminal berarti spora dibentuk dekat salah satu ujung sel, dan letak sentral berarti spora dibentuk di bagian tengah dari sel (Tortora dkk. 2010).

Kapsul Bakteri

Beberapa spesies bakteri juga dapat membentuk struktur yang disebut kapsul. Kapsul merupakan lapisan polisakarida atau protein yang terletak di bagian terluar dari sel.  Kapsul secara khas berikatan dengan kuat pada dinding sel atau berikatan secara kovalen pada peptidoglikan. Kapsul memiliki fungsi seperti media untuk melekatkan diri pada substrat padat dan mencegah sel dari kekeringan (Madigan dkk. 2011).
Sel bakteri tidak berwarna sehingga sulit dan sukar diamati secara langsung. Pewarnaan dilakukan untuk mempermudah dalam melakukan pengamatan terhadap bakteri.  Proses pewarnaan bakteri lazim disebut pengecatan (Gandjar dkk., 1992). Zat yang digunakan untuk mewarnai bakteri termasuk biological dye.  Faktor-faktor yang memengaruhi pengecatan adalah faktor cat, faktor dinding sel, dan faktor proses pewarnaan.  Cat dan permukaan sel bakteri harus mempunyai ion yang berlawanan sehingga cat dapat berikatan dengan permukaan sel bakteri. Sebagai contoh, kristal violet yang memiliki ion bermuatan positif akan berikatan dengan permukaan sel bakteri yang umumnya memiliki ion bermuatan negatif. Proses pewarnaan yang cukup penting adalah pada saat proses fiksasi. Pengerjaan proses fiksasi yang tidak benar akan membuat pengecatan menjadi kurang baik, misalnya sel bakteri masih hidup, sel bakteri hilang ketika proses pencucian, dan sel tidak mampu diwarnai oleh zat pewarna (Benson 2001; Prescott dkk. 2002; Tortora dkk. 2010). 

Pewarnaan Struktur Dinding Sel Bakteri  

Pewarnaan khusus digunakan untuk mewarnai dan menampakkan bagian spesifik dari mikroorganisme, seperti endospora, kapsul, dan dinding sel.  Tujuannya adalah agar bagian spesifik tersebut menjadi lebih mudah untuk diamati.  Bagian spesifik tersebut memiliki sifat yang khas sehingga untuk mewarnainya diperlukan pewarnaan dan teknik pengecatan yang khusus (Gandjar dkk. 1992; Tortora dkk. 2010).

Pewarnaan Endospora
Pengecatan sederhana dan pengecatan gram tidak bisa dilakukan untuk mewarnai endospora, karena zat warna tidak dapat berpenetrasi ke dalam dinding sel dari endospora. Pewarnaan khusus endospora menggunakan dua reagen pewarna juga, yaitu Malachite Green dan Safranin. Malachite Green merupakan zat warna utama yang akan memberi warna hijau pada endospora. Pemanasan perlu dilakukan agar zat warna dapat berpenetrasi ke dinding sel endospora.  Sementara itu, safranin, yang merupakan zat warna lawan, akan memberi warna merah kepada bagian sel bakteri selain endospora (Harley & Prescott 2002; Tortora dkk. 2010).

Pengecatan endospora dimulai dengan membuat preparat olesan terlebih dahulu. Selanjutnya, kertas hisap diletakkan di atas preparat olesan kemudian ditetesi dengan pewarna Malachite Green. Preparat kemudian diletakkan dekat pembakar spiritus sampai zat warna mengering.  Setelah kering, kertas hisap diangkat dan dicuci dengan air mengalir.  Langkah berikutnya, preparat ditetesi oleh safranin dan didiamkan beberapa saat. Kemudian, preparat dicuci kembali dan akhirnya diamati di bawah mikroskop (Gandjar dkk. 1992).
Pemanasan diperlukan pada saat pengecatan spora agar zat warna dapat berpenetrasi ke dinding sel endospora.  Malachite Green digunakan untuk mewarnai endospora dan akan memberikan warna hijau pada endospora.  Malachite green akan berikatan pada permukaan endospora.  Sementara itu, safranin digunakan sebagai zat warna lawan yang akan memberikan warna merah pada bagian sel selain endospora (Harley & Prescott 2002; Tortora dkk. 2010).


Pewarnaan Kapsul
Pewarnaan khusus kapsul menggunakan dua reagen pewarna, yaitu kristal violet dan CuSO4. Kristal violet merupakan zat warna utama yang akan memberikan warna pink gelap pada sel dan material kapsular.  Tidak seperti sel, kapsul merupakan bagian non-ionik pada sel bakteri sehingga zat warna utama hanya melekat pada kapsul tanpa berikatan padanya.  Sementara itu, CuSO4 merupakan agen pendekolorasi.  Zat tersebut akan mencuci warna dari  kristal violet sehingga hilang dari material kapsular, namun tidak ikut mencuci kristal violet yang telah berikatan dengan dinding sel bakteri. Pada saat yang sama, CuSO4 berperan sebagai zat warna lawan (counter stain) yang akan diabsorpsi ke dalam kapsul dan memberikan warna biru cerah atau pink (Cappuccino & Sherman 2001; Harley & Prescott 2002). 

Pengecatan kapsul dimulai dengan preparat olesan bakteri. Preparat lalu ditetesi oleh kristal violet dan dipanaskan di atas penangas air selama satu menit. Kemudian, preparat dibilas dengan CuSO4. Selanjutnya, preparat dikeringkan dengan kertas hisap. Setelah kering, preparat diamati di bawah mikroskop (Gandjar dkk. 1992).

Kristal violet merupakan zat warna utama yang akan memberikan warna pink gelap pada sel dan material kapsular. Tidak seperti sel, kapsul merupakan bagian non-ionik pada sel bakteri sehingga zat warna utama hanya melekat pada kapsul tanpa berikatan padanya.  Sementara itu, CuSO4 merupakan agen pendekolorasi.  Zat tersebut akan mencuci warna dari  kristal violet sehingga hilang dari material kapsular, namun tidak ikut mencuci kristal violet yang telah berikatan dengan dinding sel bakteri. Pada saat yang sama, CuSO4 berperan sebagai zat warna lawan (counter stain) yang akan diabsorpsi ke dalam kapsul dan memberikan warna biru cerah atau pink (Cappuccino & Sherman 2001; Harley & Prescott 2002).


Pewarnaan Dinding Sel
Pewarnaan dinding sel menggunakan tiga reagen, yaitu cethylpiridinium chloride, methylen blue, dan Congo Red jenuh (Dyar 1947; Gandjar dkk. 1992). Methylene Blue merupakan pewarna basa yang mempunyai ion bermuatan positif sehingga pewarna tersebut dapat mewarnai sitoplasma. Sementara itu, Congo Red merupakan pewarna asam yang mempunyai ion bermuatan negatif. Dinding sel bakteri tidak dapat berikatan dengan pewarna Congo red karena sama-sama memiliki muatan negatif (Tortora dkk. 2010). Cationic surface-active agent dapat digunakan untuk membantu pewarna asam dapat mewarnai dinding sel.  Agen kationik tersebut merupakan Cetylpiridinium chloride.  Agen kationik tersebut berperan sebagai mordant, karena membantu menguatkan ikatan antara zat pewarna dengan permukaan sel bakteri (Dyar 1947).  
Penggunaan Methylen Blue dan Congo Red sebagai zat warna utama karena kedua pewarna tersebut mempunyai warna yang berbeda. Methylen Blue akan memberi warna biru pada sitoplasma dan Congo Red akan memberi warna merah pada dinding sel.  Dengan membuat perbedaan warna yang jelas pada bagian-bagian sel bakteri, membuat bagian dinding sel lebih mudah untuk diamati 

Pengecatan dinding sel dimulai dengan membuat preparat olesan bakteri. Kemudian, preparat ditetesi tiga tetes larutan Cetylpiridinium chloride dan satu tetes larutan Congo Red jenuh. Setelah itu, preparat digoyang-goyangkan sehingga kedua larutan tercampur. Langkah berikutnya, preparat dicuci dengan air mengalir. Selanjutnya, preparat ditetesi dengan larutan methylen blue selama sepuluh detik. Preparat kemudian dicuci kembali dengan air mengalir dan dikeringkan. Preparat yang telah dikeringkan kemudian diamati di bawah mikroskop (Dyar 1947; Gandjar dkk. 1992).
Cetylpiridinium chloride dapat berperan sebagai mordant yang dapat menguatkan ikatan antara Congo Red dan dinding sel. Cetylpiridinium chloride merupakan kationic surface-active agent, tanpanya zat Congo Red  tidak dapat berikatan dengan dinding sel. Sementara itu, methylene blue digunakan untuk mewarnai sitoplasma karena methylene blue merupakan pewarna basa. Pengecatan dinding sel dengan tiga reagen tersebut dapat digunakan untuk mewarnai dinding sel bakteri pada genus Bacillus, Micrococcus, dan Escherichia (Dyar 1947)



Sumber https://www.generasibiologi.com/

Selain sebagai media informasi pendidikan, kami juga berbagi artikel terkait bisnis.

Artikel bisnis dan investasi
Jangan lupa membaca artikel tentang bisnis di > Informasi bisnis terbaik 2020.



Bakteri adalah salah satu dari mikroorganisme yang memiliki ukuran yang relatif kecil dan merupakan organisme uniselular (sel tunggal).  Bakteri juga termasuk kelompok organisme prokariotik, karena materi genetiknya tidak diselubungi oleh membran inti. Bakteri memiliki berbagai macam bentuk, umumnya terbagi menjadi tiga, yaitu bentuk basil (seperti batang), bentuk kokus (seperti bola atau oval), dan bentuk spiral.  Ada juga bakteri yang memiliki bentuk bintang dan kotak.  Individu-individu bakteri dapat hidup dengan membentuk pasangan, rantai, kluster, dan bentuk lainnya.  Bentuk-bentuk tersebut dapat menjadi dasar karakter suatu marga pada bakteri (Tortora dkk., 2010).
Sel bakteri memiliki struktur dinding sel. Namun, struktur dinding sel pada bakteri berbeda dengan tumbuhan. Penyusun utama dinding sel pada bakteri adalah peptidoglikan, sedangkan penyusun utama dinding sel pada tumbuhan adalah selulosa (Tortora, 2010). Peptidoglikan adalah sebuah polisakarida yang terdiri dari dua macam gula turunan, yaitu N-acetylglucosamine (NAG) dan N-acetylmuramic acid (NAM).  Selain itu, peptidoglikan juga disusun oleh beberapa asam amino, seperti D-alanine, L-alanine, D-glutamic acid, lysine atau struktur mirip analog asam amino yang disebut DAP. Semua komponen tersebut dikoneksikan sehingga membentuk struktur berulang yang disebut glycan tetrapeptide (Madigan dkk., 2011). 
Baca juga: Struktur dan Fungsi Dinding Sel Bakteri

Selain dinding sel, sel bakteri mempunyai struktur lain yang juga khas, seperti kapsul, fimbriae, pili, flagela dan endospora. Kapsul merupakan lapisan polisakarida atau protein yang terletak di bagian terluar dari sel. Kapsul secara khas berikatan dengan kuat pada dinding sel atau berikatan secara kovalen pada peptidoglikan. Kapsul memiliki fungsi seperti media untuk melekatkan diri pada substrat padat dan mencegah sel dari kekeringan. Fimbriae dan pili adalah struktur filamen yang terbuat dari protein dan memanjang dari permukaan sel. Fimbriae berfungsi untuk melekatkan pada permukaan atau membentuk biofilm pada permukaan. Sementara itu, pili merupakan struktur mirip fimbriae, namun ukurannya lebih panjang dan jumlahnya lebih sedikit dibadingkan fimbriae.  Pili berfungsi sebagai reseptor dari virus, memfasilitasi proses konjugasi, dan media untuk melekatkan sel pada jaringan inang (Madigan dkk., 2011).
Banyak bakteri dapat bergerak dengan “berenang”. Pergerakan tersebut dibantu oleh struktur yang disebut flagela. Cara kerjanya adalah dengan melakukan semacam rotasi atau putaran yang menyebabkan sel dapat ditarik dan didorong sehingga sel dapat berpindah tempat. Flagela bakteri tersusun atas protein yang disebut flagellin. Endospora adalah struktur khas yang biasanya muncul pada saat sel bakteri berada di kondisi yang tidak memungkinkan untuk melakukan pertumbuhan. Endospora terdehidrasi dan mengandung sejumlah agen proteksi seperti kompleks calcium-diphicolinic acid dan acid-soluble protein, yang tidak ada pada sel vegetatifnya. Endospora dapat tetap dorman sampai tak terbatas tetapi dapat bergerminasi dengan cepat ketika kondisi memungkinkan (Madigan dkk., 2011).  
Bakteri telah dikelompokkan oleh para ahli berdasarkan tipe morfologi, fisiologi, dan genetikanya. Sejumlah taksa yang telah dikenal pada bakteri yaitu Proteobacteria,  Actinobacteria, Spirochaetes, dan Cyanobacteria (Hogg, 2005). Selain pengelompokkan yang telah resmi diterima dalam taksonomi, terdapat juga jenis pengelompokkan tertentu yang didasarkan pada sifat yang khas dari sejumlah kelompok bakteri. Salah satu jenis pembagian bakteri tersebut adalah dengan membagi bakteri menjadi bakteri gram positif dan bakteri gram negatif (Hogg, 2005; Tortora dkk., 2010).

Perbedaan Bakteri Gram Positif dan Bakteri Gram Negatif

Bakteri gram positif dan bakteri gram negatif dibedakan berdasarkan struktur dinding selnya.  Akibat struktur dinding sel yang berbeda, menimbulkan respon yang berbeda ketika dilakukan pewarnaan gram. Bakteri gram positif memiliki beberapa lapisan peptidoglikan sehingga lapisan peptidoglikannya tebal. Umumnya, 90% penyusun dinding sel bakteri gram positif merupakan peptidoglikan. Dinding sel bakteri gram positif mengandung teichoic acid. Ada dua tipe teichoic acid, yaitu lipoteichoic acid, yang menjangkau lapisan peptidoglikan dan terhubung ke membran plasma, dan wall teichoic acid, yang terhubung dengan lapisan peptidoglikan (Tortora dkk., 2010).  

Berbeda halnya dengan bakteri gram negatif, yang memiliki lapisan peptidoglikan lebih tipis. Namun, dinding sel bakteri gram negatif mempunyai membran luar. Membran luar terdiri dari lipopolisakarida (LPS), lipoprotein, dan fosfolipid. Peptidoglikan terikat dengan lipoprotein di membran luar dan periplasma, yaitu struktur seperti gel yang berada di antara membran luar dan plasma membran. Selain itu, Dinding sel bakteri gram negatif tidak mengandung teichoic acid (Tortora dkk., 2010).
Perbedaan selanjutnya antara bakteri gram positif dan bakteri gram negatif adalah respon yang berbeda diantara keduanya ketika dilakukan pewarnaan gram.  Bakteri gram positif akan tetap terwarnai kristal violet ketika dilakukan dekolorisasi dengan alkohol dan bakteri akan menampakkan warna biru atau ungu.  Sebaliknya, bakteri gram negatif akan terdekolorisasi dengan alkohol dan terganti dengan pewarna lawan (counterstain) seperti safranin sehingga bakteri akan berwarna merah atau pink (Tortora dkk., 2010: 88).

Macam-Macam Pewarna Bakteri

Sel bakteri tidak berwarna sehingga sulit dan sukar diamati secara langsung. Untuk mempermudah pengamatan morfologi bakteri diperlukan pewarnaan. Proses pewarnaan bakteri lazim disebut pengecatan (Gandjar dkk., 1992). Zat yang digunakan untuk mewarnai bakteri termasuk biological dye. Zat pewarna/cat yang digunakan untuk mewarnai bakteri mempunyai dua sifat utama, yaitu mempunyai kelompok kromofor dan memiliki ikatan dengan sel secara ionik, kovalen, atau hidrofobik.  Kromofor merupakan gugus pemberi warna dari biological dye (Prescott dkk., 2002).  
Zat warna dapat dibedakan menjadi dua kelompok berdasarkan sifat muatannya, yaitu pewarna asam (acidic dyes) dan pewarna basa (basic dyes). Pewarna basa terdiri dari methylen blue, basic fuchsin, crystal violet, safranin yang memiliki muatan positif. Permukaan sel bakteri umumnya bermuatan negatif, sehingga pewarna basa sering digunakan dalam pengecatan struktur bakteri. Pewarna asam yakni eosin, rose bengal, acid fuchsin yang memiliki muatan negatif (Prescott dkk., 2002). Pewarna asam tidak dapat berikatan dengan kebanyakan bakteri karena muatan negatif pada zat warna akan ditolak dengan muatan negatif pada permukaan sel bakteri, sehingga pewarna asam mewarnai latar belakangnya (background) saja (Tortora dkk., 2010).
Ada tiga macam pengecatan yang umum digunakan, yaitu pengecatan negatif, pengecatan sederhana, dan pengecatan diferensial.  Pengecatan negatif dilakukan untuk mewarnai latar belakang preparat dan bakteri tidak terwarnai.  Pengecatan sederhana dilakukan dengan memakai satu macam larutan cat.  Sel bakteri akan berwarna sesuai dengan jenis cat yang dipakai.  Sementara itu, pengecatan diferensial dilakukan dengan memakai beberapa macam larutan zat.  Hasil dari pengecatan diferensial mengelompokkan bakteri ke dalam kelompok-kelompok tertentu (Gandjar dkk., 1992).

Prinsip Pewarnaan Bakteri

Pengecatan negatif memiliki prinsip dasar, yaitu dengan mengkontraskan latar belakang sel (dibuat menjadi lebih gelap) sehingga sel yang tidak bewarna menjadi lebih terlihat. Pewarna yang digunakan adalah pewarna asam. Pengecatan negatif cocok digunakan untuk observasi bentuk sel, ukuran sel, dan kapsul (Tortora dkk., 2010).
Pengecatan sederhana menggunakan satu macam zat warna.  Pengecatan sederhana biasanya digunakan untuk melihat bentuk dan susunan sel bakteri.  Pewarna yang digunakan biasanya pewarna basa. Terkadang pada pengecatan sederhana digunakan zat mordant, yaitu zat yang dapat meningkatkan afinitas antara cat dengan sel bakteri sehingga sel bakteri lebih terwarnai (Tortora dkk., 2010).
Pengecatan diferensial menggunakan beberapa zat warna dan hasilnya dapat mengelompokkan bakteri ke dalam kelompok bakteri tertentu.  Salah satu macam pengecatan diferensial adalah pengecatan gram.  Pengecatan gram menggunakan empat macam larutan.  Larutan pertama adalah cat utama, yaitu kristal violet. Larutan kedua adalah mordant, yaitu Gram's iodine. Mordant berfungsi untuk meningkatkan afinitas antara cat dengan sel bakteri. Mordant akan berikatan kuat dengan kristal violet.  Setelah diberi mordant, baik bakteri gram positif maupun negatif, akan tampak berwarna ungu atau biru. Larutan ketiga adalah zat pendekolorisasi, yaitu etanol atau aseton.  Fungsi zat pendekolorisasi adalah untuk meluruhkan warna ungu pada bakteri gram negatif, sedangkan bakteri gram positif tetap berwarna ungu.  Larutan keempat adalah zat pewarna lawan (counter stain), yaitu safranin.  Fungsi zat pewarna lawan adalah akan memberikan warna pink pada bakteri gram negatif, sedangkan pada bakteri gram positif tetap berwarna ungu (Benson, 2001; Tortora dkk., 2010).

Pewarnaan Negatif

Pengecatan negatif menggunakan tinta cina atau nigrosin.  Tinta cina atau nigrosin merupakan jenis pewarna asam dan bermuatan negatif. Tinta cina tidak akan bisa berikatan dengan dinding sel dari bakteri karena sama-sama bermuatan negatif, sehingga tinta cina hanya akan mewarnai permukaan preparat atau dengan kata lain membuat gelap latar belakang dari bakteri. Prinsip dari pengecatan negatif adalah membuat kontras latar belakang objek sehingga objek yang transparan dan tidak terwarnai menjadi lebih jelas terlihat (Benson, 2001; Harley & Prescott, 2002; Tortora dkk., 2010).
Pengecatan negatif tidak memerlukan proses fiksasi terlebih dahulu, karena proses fiksasi dapat membuat sel menjadi mengkerut. Biasanya, pengecatan negatif berfungsi untuk melihat bentuk, ukuran dan kapsul sel. Jika pada pengecatan negatif dilakukan juga proses fiksasi, akan membuat perubahan pada ukuran sel sehingga ukuran sel menjadi tidak akurat. Lagipula, salah satu fungsi dari proses fiksasi adalah untuk membuat proses pewarnaan bakteri menjadi lebih baik. Sementara itu, pengecatan negatif hanya mewarnai latar belakang dan tidak akan mewarnai permukaan sel sehingga proses fiksasi tidak perlu dilakukan (Benson, 2001). 
Faktor-faktor yang memengaruhi proses pewarnaan adalah faktor warna, dinding sel bakteri, dan proses pewarnaan. Cat atau pewarna bisa bersifat asam atau basa, selanjutnya pemakaiannya disesuaikan dengan pengecatan yang akan dibuat. Jika akan melakukan pengecatan negatif, pewarna yang digunakan adalah pewarna asam karena pewarna asam tidak akan berikatan dengan dinding sel. Sementara itu, proses pewarnaan dapat memengaruhi baik tidaknya hasil pengecatan (Benson, 2001; Harley & Prescott, 2002).

Pewarnaan Sederhana

Contoh pewarnaan sederhana dengan menggunakan crystal violet. Permukaan sel bakteri akan menjadi berwarna ungu setelah diwarnai dengan pewarna crystal violet. Crystal violet adalah jenis pewarna basa yang bermuatan positif sehingga dapat berikatan dengan permukaan sel bakteri (Tortora dkk., 2010).
Sebelum melakukan proses pewarnaan sederana, perlu dilakukan proses fiksasi. Proses fiksasi mempunyai fungsi yang banyak dalam membantu proses pengecatan menjadi lebih baik. Salah satu fungsi dari fiksasi yaitu dapat menginaktivasi enzim yang dapat merusak morfologi sel atau menguatkan struktur sel sehingga dapat menyulitkan proses pewarnaan. Selain itu, fiksasi dapat mempertahankan posisi sel, membunuh sel, dan melekatkan sel dengan preparat sehingga sel bakteri tidak hilang ketika proses pencucian (Benson, 2001). Fiksasi dilakukan dengan cara melewatkan gelas objek di atas nyala api sebanyak 3-4 kali (Gandjar dkk., 1992).
Faktor-faktor yang memengaruhi pewarnaan sederhana adalah faktor cat, permukaan sel bakteri itu sendiri, dan faktor proses pewarnaan. Cat dan permukaan sel bakteri harus yang mempunyai ion yang berlawanan sehingga cat dapat berikatan dengan permukaan sel bakteri. Sebagai contoh, crystal violet yang memiliki ion bermuatan positif akan berikatan dengan permukaan sel bakteri yang umumnya memiliki ion bermuatan negatif.  Proses pewarnaan sederhana yang cukup penting adalah pada saat proses fiksasi. Pengerjaan proses fiksasi yang tidak benar akan membuat pengecatan menjadi kurang baik, misalnya sel bakteri masih hidup, sel bakteri hilang ketika proses pencucian, dan sel tidak mampu diwarnai oleh zat pewarna (Benson, 2001; Prescott dkk., 2002; Tortora dkk., 2010). 

Pewarnaan Gram

Pewarnaan gram menggunakan empat jenis larutan, yaitu larutan gram A, gram B, gram C, dan gram D. Setiap larutan tersebut mempunyai fungsi masing-masing yang dijelaskan sebagai berikut:
  1. Larutan gram A adalah cat utama, yaitu kristal violet. 
  2. Larutan gram B adalah mordant, yaitu Gram's iodine.  Mordant berfungsi untuk meningkatkan afinitas antara cat dengan sel bakteri. Mordant akan berikatan kuat dengan kristal violet. Setelah diberi mordant, baik bakteri gram positif maupun negatif, akan tampak berwarna ungu atau biru. 
  3. Larutan gram C adalah zat pendekolorisasi, yaitu etanol atau aseton. Fungsi zat pendekolorisasi adalah untuk meluruhkan warna ungu pada bakteri gram negatif, sedangkan bakteri gram positif tetap berwarna ungu. 
  4. Larutan gram D adalah zat pewarna lawan (counter stain), yaitu safranin.  Fungsi zat pewarna lawan adalah akan memberikan warna pink atau merah pada bakteri gram negatif, sedangkan pada bakteri gram positif tetap berwarna ungu (Benson, 2001; Tortora dkk., 2010).
Kompleks iodin-kristal violet akan terbentuk di dalam sel pada pewarnaan sel. Kompleks iodin-kristal violet akan terekstraksi oleh alkohol dari bakteri gram negatif, namun tidak pada bakteri gram positif. Hal tersebut disebabkan bakteri gram positif mempunyai lapisan peptidoglikan yang tebal. Peptidoglikan akan terdehidrasi oleh alkohol, menyebakan pori dinding tertutup dan mencegah kompleks iodin-kristal violet tidak keluar dari sel. Sebaliknya, pada bakteri gram negatif, alkohol berpenetrasi melewati LPS dan mengekstraksi kompleks iodin-kristal violet. Sebagai hasilnya, bakteri gram negatif akan terlihat tidak berwarna dan akan terwarnai oleh zat pewarna lawan (safranin), sedangkan bakteri gram positif akan tetap berwarna ungu (Madigan dkk., 2011).
Faktor-faktor yang memengaruhi proses pewarnaa gram adalah faktor cat, faktor dinding sel, dan proses pewarnaan. Cat yang digunakan tidak boleh yang sudah lama karena dapat memengaruhi hasil pengecatan.  Struktur dinding sel juga memengaruhi hasil pengecatan, karena struktur dinding sel pada bakteri gram positif dan bakteri gram negatif berbeda.  Proses pengecatan sel juga harus diperhatikan, misalnya pada tahap fiksasi dan pencucian. Umur biakan yang digunakan juga tidak boleh yang sudah tua, karena biakan yang sudah tua lebih mudah terdekolorisasi dibandingkan biakan yang masih muda sehingga bakteri gram positif bisa terlihat seperti bakteri gram negatif (Benson, 2001; Tortora dkk., 2010; Madigan dkk., 2011).

Referensi
  • Black, J. G. 2008. Microbiology, 7th ed. 
  • Benson. 2001. Microbiological application lab manual, 8th ed. 
  • Harley & Prescott. 2002. Laboratory exercises in microbiology, 5th ed. 
  • Hogg, S. 2005. Essential microbiology. 
  • Bergey's manual of systematic bacteriology: vol III The Firmicutes, 2nd ed.
  • Madigan, M. T., J. M. Martinko, D. A. Stahl, D. P. Clark. 2011. Brock biology of microorganisms, 13th ed. 
  • Prescott, L. M., Harley, & Klein. 2002. Microbiology, 5th ed. 
  • Tortora, G. J., B. R. Funke & C. L. Case. 2010. Microbiology: An introduction, 10th ed. 


Sumber https://www.generasibiologi.com/

Selain sebagai media informasi pendidikan, kami juga berbagi artikel terkait bisnis.

Artikel bisnis dan investasi